Sabtu, 04 Desember 2010

SELAYANG PANDANG


TEKNOLOGI, INOVASI, DAN PENGETAHUAN

 Potensi teknologi informasi sering dikaitkan dengan inovasi dan penciptaan pengetahuan. Kita dapat mengaitkan teknologi dengan aktivitas penciptaan pengetahuan melalui proses perolehan (akuisisi) dan konversi pengetahuan. Di dalam sebuah organisasi, proses ini bergantung kepada kemampuan manajemen mendorong para pegawai untuk berbagi dan memanfaatkan pengetahuan secara bersama. Selain itu, proses inovasi juga sangat ditentukan oleh kreatifitas para pegawai dalam memanfaatkan teknologi informasi. Pada masa-masa lalu, ada pandangan bahwa kreatifitas berasal dari teknologi itu sendiri atau dari perancang sistem, yang kemudian dipindahkan ke para pegawai lewat proses pelatihan intensif. Seakan-akan di dalam teknologi informasi sudah ada kreatifitas, sehingga para pemakainya akan tertular menjadi kreatif juga. Ini tentu pandangan yang terlalu teknologi-sentris.

Pandangan teknologi-sentris ini masuk akal pada saat kegunaan komputer masih terbatas dan dapat ditentukan secara spesifik, misalnya hanya untuk membantu pencatatan keluar-masuk barang. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang rutin dan sudah terpola secara baku, komputer boleh dikatakan "mendikte" perubahan dalam kecepatan dan efisiensi kerja para pegawai yang memakainya. Tetapi perkembangan teknologi informasi dalam kapasitas memory dan kecepatan pemrosesan telah melahirkan potensi-potensi baru yang menjadikan komputer semakin "pasrah" (malleable) dan luwes untuk dimanfaatkan secara lebih kreatif oleh pemakainya.

Sebagai teknologi yang luwes, maka teknologi informasi dapat menjadi menjadi fasilitator dari proses kreatif. Dalam hal ini kita harus memperhatikan bahwa setiap teknologi selalu memiliki dua komponen pengetahuan, yaitu "pengetahuan kesadaran" (awareness knowledge) dan "pengetahuan tata-cara penggunaan" (how-to knowledge).

Setiap teknologi mensyarakatkan bahwa pemakainya menyadari potensi teknologi tersebut dan memiliki gambaran tentang hal itu. Untuk menyadari potensi dalam sebuah teknologi diperlukan informasi lengkap tentang teknologi itu sendiri, sehingga komponen "pengetahuan kesadaran" ini sering disebut juga sebagai konteks teknologi --segala hal yang berkaitan dengan teknologi itu sendiri.

Sedangkan untuk memiliki "pengetahuan tata-cara penggunaan" diperlukan sekaligus pengetahuan tentang organisasi yang akan menggunakan teknologi dan potensi inovasi dari penggunaan teknologi tersebut. Pengetahuan kedua ini membentuk semacam konteks organisasi yang menentukan apakah sebuah teknologi dapat "tertanam" (embedded) dengan baik di unit-unit kerja yang menggunakannya.

Maka jika komputer adalah "teknologi inovasi", ia akan melalui tahap-tahap seperti ini:
1.   Pertama, teknologi masuk ke sebuah organisasi dengan membawa pengetahuan yang "bebas" dari konteks organisasi itu. Pengetahuan ini akan bersinggungan dengan persepi para anggota atau pegawai organisasi. Masing-masing anggota ini dianggap memiliki potensi untuk melakukan inovasi.
2.   Kedua, pengetahuan "bebas nilai" yang dibawa oleh teknologi dari dunia luar ke dalam organisasi itu akan diterjemahkan menjadi satuan-satuan pengetahuan lokal yang bersifat spesifik. Pada saat penerjemahan inilah terjadi dua kemungkinan, yaitu potensi inovasi di setiap unit terwujud, atau justru malah mati sama sekali.

Dapat kiranya dilihat dengan jelas pada kedua tahap di atas, bahwa sumber dari inovasi di dalam sebuah organisasi bukanlah pada teknologinya, tetapi pada pemakai teknologi itu (technology users), dan tahap kritis dari jadi-tidaknya inovasi ini adalah pada saat pemakai teknologi menerjemahkan konteks teknologi ke dalam pekerjaan mereka. Dilihat dari sisi pandang manajemen pengetahuan, kedua tahap di atas jelas memperlihatkan transformasi pengetahuan dari eksplisit ke tacit. Persoalannya sekarang, bagaimana manajemen memfasilitasi proses perubahan dari pengetahuan eksplisit menjadi tacit dan bagaimana fasilitasi ini dijadikan bagian tak terpisahkan dari instalasi sebuah teknologi, katakanlah dalam bentuk sebuah sistem informasi.

Lebih jauh lagi, manajemen juga harus memikirkan bagaimana transformasi dari pengetahuan eksplisit ke tacit menjadi sebuah proses kreatif yang mendorong inovasi di organisasi, dan bagaimana pengetahuan tacit di masing-masing pegawai dapat dipertukarkan secara bebas, dapat ditransfer lagi menjadi pengetahuan eksplisit yang akan disimpan sebagai memori organisasi.

Dengan cara pandang di atas, maka jelaslah bahwa "manejemen pengetahuan berbasis teknologi inovasi" mengharuskan organisasi mengubah strategi pengembangan sistem teknologinya. Konsep-konsep organisasi yang belajar (learning organization) dan organisasi yang berubah harus digunakan dalam pengembangan sistem, sehingga pengembangan sistem tidak melulu instalasi dan pelatihan pemakaian teknologi. Perhatian terhadap fasilitas untuk transformasi pengetahuan eksplisit ke tacit dan sebaliknya harus diberikan sama besarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar